Entri Populer

Rabu, 14 Februari 2018

Mengenal Program Padat Karya Desa di Era Jokowi




Istilah Padat Karya Tunai di Desa atau cash to work belakangan kembali ramai diperbincangkan. Ini setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pemanfaatan Dana Desa ikut dirasakan oleh penduduk miskin dan pengangguran di desa. Sebelumnya istilah program padat karya dikenal pada era orde baru dimana banyak program pembangunan yang melibatkan banyak tenaga kerja. Kemudian pada era reformasi, istilah ini seolah dilupakan. Dan saat ini, istilah padat karya kembali mengemuka dengan tambahan istilah padat karya tunai atau cash to work.

Bagaimana program ini lahir di Era Jokowi ?

Istilah ini mulai ramai diperbincangkan akhir 2017 lalu. Konon dari cerita yang penulis peroleh, program ini lahir karena Presiden Jokowi marah.
Apa yang membuat presiden marah? Konon saat berkunjung ke sebuah desa, presiden mendapatkan informasi bahwa proyek pembangunan yang ditinjau dikerjakan oleh pihak ketiga. Bukan dikerjakan secara swakelola. Keuntungan dikerjakan swakelola adalah uang berputar di desa, dimanfaatkan oleh warga desa yang ikut bekerja. Hal ini berkebalikan dengan proyek yang dipihak ketigakan dimana rata-rata penduduk desa hanya sebagai penonton. Melihat alasan itu, Presiden Jokowi menegaskan agar diadakan program padat karya di desa atau cash to work.

Pengertian Padat Karya Tunai

Lalu apa itu Program Padat Karya Tunai?
Program padat karya  merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat marginal/miskin yang bersifat produktif berdasarkan : pemanfaatan sumber daya alamtenaga kerja, dan teknologi lokal dalam rangka mengurangi kemiskinanmeningkatkan pendapatan dan menurunkan angka stunting

Nantinya program ini akan wajib dilaksanakan oleh semua desa di Indonesia. Proyek pembangunan di desa wajib melibatkan warga miskin untuk ikut dalam pembangunan. Di Jawa Tengah, pada tahap awal ada 11 kabupaten yang memperoleh prioritas : Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Klaten, Grobogan, Blora, Demak, Pemalang, dan Brebes. Sebagai tahap persiapan, saat ini tengah dilakukan sosialisasi di tingkat provinsi dan selanjutnya dilakukan sosialisasi di tingkat kabupaten dan seterusnya ke bawah. 

Untuk mendukung kesuksesan program padat karya di desa, program ini dikawal bersama antara lain pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, organisasi perangkat daerah (OPD) : Pemdes, Dinsospermasdes, Dinas Pekerjaan Umum, serta Kepolisian, Inspektorat, juga pelibatan Tenaga Pendamping Profesional. (*)

Sabtu, 18 November 2017

Keberhasilan Kalisari Menjadi Desa Mandiri Energi



Di Kabupaten Banyumas sedikit desa yang menyadari adanya potensi energi baru terbarukan. Potensi ini bisa berasal dari alam, maupun hasil dari mengolah limbah. Karena tidak mengetahui potensi tersebut, pemanfaatan energi baru terbarukan jadi terabaikan. Bila bisa dikelola, potensi ini bisa menjadi sumber energi alternatif menggantikan sumber energi yang tidak terbarukan. Ada beberapa contoh desa yang memiliki potensi belum tergarap, namun dalam tulisan ini saya ingin membahas desa yang dianggap berhasil mengelola potensi energi terbarukan. Harapannya pengalaman dan praktik baik bisa direplikasikan di desa lain.

Salah satu desa yang dianggap berhasil adalah Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Desa penghasil tahu ini dinobatkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI sebagai Desa Mandiri Energi (DME). Sejak tahun 2009, desa ini sudah mengolah limbah cair tahu menjadi biogas. Pemanfaatan biogas digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti elpiji.

Kesadaran Pemanfaatan

Produksi tahu di Kalisari dilakukan sudah turun temurun. Saya berusaha mencari tahu, kapan dan siapa yang mula-mula memproduksi tahu di Kalisari. Namun data sejarah ini minim. Dari penuturan lisan, produksi tahu diperkirakan muncul pada era tahun 1920-an. Konon, ada seorang Tionghoa yang memproduksi di Kalisari dengan mempekerjakan warga lokal. Lambat laun berkembang, warga lokal menjadi mandiri dan bisa membuka usaha tobong tahu sendiri.

Dari keterangan Kepala Desa Kalisari, Azis Masruri jumlah produsen tahu mencapai 280 orang. Di desa ini ada lima instalasi pengolah limbah tahu dan ada empat kelompok pemanfaat biogas dengan jumlah anggota sekitar 200 orang. Sebelum dilakukan pengolahan biogas, produksi tahu menimbulkan masalah. Yakni, pencemaran lingkungan yang mengakibatkan gangguan kesehatan warga desa. Masalah ini terjadi karena limbah cair yang mengandung bahan kimia dialirkan sembarangan ke sungai dan selokan sehingga mencermari air dan menimbulkan bau menyengat.

Gangguan ini membuat masyarakat tersadar perlunya pengelolaan limbah cair tahu. Hingga akhirnya mendapat bantuan pembangunan instalasi biogas kali pertama pada 2009 sebagai pilot project BPPT Kemenristek. Instalasi ini berupa digester atau pengolahan limbah cair menggunakan mikroba agar menghasilkan biogas yang kemudian dialirkan ke rumah pemanfaat. Bantuan sejenis juga diberikan ke tetangga desa yang sama-sama mengelola limbah tahu, namun bantuan tersebut mangkrak. Limbah tetap dibuang ke sungai.

Prinsip Nguwongna

Apa yang membuat Kalisari berhasil memanfaatkan limbah cair menjadi biogas? Kesuksesan ini menurut saya didukung banyak faktor, namun dalam tulisan ini saya mengamati dari kajian komunikasi. Dari kajian ilmu komunikasi, keberhasilan pengelolaan biogas di Kalisari karena terbangun pola komunikasi interaksi antar pemangku kepentingan. Kepala desa sebagai komunikator (penyampai pesan) mengedepankan prinsip nguwongna atau memanusiakan. Sebagai manusia, siapapun ingin diperlakukan dengan baik, terhormat, dan adil antara hak dan kewajiban. Di Kalisari, komunikasi dibangun dengan pendekatan kemanusiaan.

Meski sederhana, nguwongna bisa sulit dilaksanakan. Terutama bila sosok kepala desa sebagai elite desa bersikap egois, merasa kuasa, dan tidak memiliki kepemimpinan inovatif progresif. Di Kalisari, dari beberapa pengurus kelompok pemanfaat biogas yang ditemui mengaku bisa memaknai prinsip nguwongna tersebut. Implementasi yang dirasakan antara lain. Pertama, kepala desa memberikan kepercayaan kepada kelompok untuk mengatur pemanfaatan dan pemeliharaan instalasi biogas limbah tahu (biolita). Termasuk kewenangan untuk mengelola uang pembayaran dari anggota kelompok. Dalam tiap bulan, pemanfaat biogas di Kalisari dikenai tarif Rp 15.000-20.000. Uang ini dikelola kelompok untuk pemeliharaan dan sekitar 20 persen untuk profit sharing dengan BUMDes.

Kedua, membangun komunikasi dua arah dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas terkait pengelolaan biogas. Maksudnya, kepala desa mengkampanyekan perlunya menjaga kebersihan lingkungan dari limbah tahu dan pelestarian biogas kepada masyarakat melalui forum-forum desa, seperti selapanan dan rapat-rapat. Termasuk mengalokasikan penganggaran dari Dana Desa (DD) untuk biaya pemeliharaan sarana fisik instalasi biogas. Masyarakat juga bisa menyampaikan informasi terkait kebutuhan kelompok kepada pemerintah desa. Di setiap kelompok pemanfaat biogas terdapat satu perwakilan perangkat desa yang masuk menjadi pengurus kelompok. Cara ini nguwongna agar perangkat desa bisa berbaur dan menyerap aspirasi kelompok.

Prinsip nguwongna ketiga adalah dengan memberikan hak-hak semestinya kepada mereka yang secara serius mengelola dan menjaga instalasi biogas. Misalnya petugas teknis desa yang melakukan perbaikan instalasi mendapat honor sesuai kemampuan kelompok. Selain itu, juga membangun komunikasi dengan supradesa, misalnya Dinas Lingkungan Hidup maupun pihak lain yag peduli dengan pemanfaatan biogas dari limbah tahu.  

Pemberdayaan Masyarakat

Dengan adanya prinsip nguwongna tersebut masyarakat akan merasa dilibatkan dalam proses pemanfaatan dan pemeliharaan biolita. Tumbunya kesadaran dan kemauan masyarakat menjadi modak sosial mendukung gerak pemberdayaan masyarakat dalam implementasi Desa Mandiri Energi. Sebagai sebuah kebijakan, program Desa Mandiri Energi di Kalisari merupakan kebijakan populis. Kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang sehat, bersih, dan nyaman terus dijaga, sementara disisi lain aktivitas bisnis produksi tahu tetap berjalan. Jembatan dari dua kebutuhan ini adalah dengan menjaga komunikasi antar pemangku kepentingan tetap seimbang dan lancar. Meski tidak mulus 100 persen, atau masih ada kendala kecil, pemanfaatan limbah biogas dari limbah cair di Kalisari patut diacungi jempol. Untuk pengembangan ke depan, perlu kiranya dibuatkan peraturan desa secara khusus yang mengatur tentang pengolahan limbah cair tahu. Serta tidak kalah penting adalah merawat instalasi yang sudah ada agar tetap bekerja dengan baik sehingga masyarakat tetap terlayani. (*)


Penulis adalah Pendamping Desa Pemberdayaan; Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED



Kamis, 26 Oktober 2017

Adakah Desa Mandiri Energi di Kabupaten Banyumas?



Penggunaan energi fosil sebagai sumber energi perlu dikurangi. Selain tidak ramah lingkungan, juga sulit diperbaharui. Sementara itu, sumber energi baru terbarukan di Indonesia masih berlimpah. Dan potensi ini banyak terdapat di desa, misalnya potensi air, panas bumi, limbah cair diolah menjadi biogas dan lainnya. Sayang potensi energi baru terbarukan di desa belum tersentuh.

Apa itu Desa Mandiri Energi (DME)?

Pengertian Desa Mandiri Energi berdasar Peraturan Menteri ESDM No 25 Tahun 2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain adalah desa yang dapat memproduksikan energi berbasis energi baru dan terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain, untuk memenuhi dan menyediakan minimal 60% (enam puluh persen) kebutuhan energi bagi desa itu sendiri.

Dari pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa Desa Mandiri Energi berkaitan erat dengan kemampuan masyarakat dan pemerintah desa dalam menggerakan potensi energi baru terbarukan yang ada di desa untuk memenuhi lebih dari 60 % kebutuhan energi (listrik dan bahan bakar) melalui pendayagunaan potensi sumberdaya setempat. Terdapat hubungan erat antara pola komunikasi, menggerakan masyarakat, dan tujuan pencapaian tujuan yakni pemenuhan kebutuhan secara mandiri atau swadaya.

Dukungan Dana Desa

Potensi energi baru terbarukan di desa dapat didanai oleh Dana Desa. Ini diatur dalam Permendesa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018. Dalam aturan disebutkan, kegiatan-kegiatan yang dapat didanai Dana Desa adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro, tenaga diesel, tenaga matahari, instalasi biogas, jaringan distribusi tenaga listrik, dan atau sarpras energi lainnya yang sesuai dengan kewenangan desa dan diputuskan melalui musyawarah desa. Namun belum semua desa yang memiliki potensi desa terdapat energi baru terbarukan mengoptimalkan Dana Desa untuk pengembangan energi baru terbarukan.

Bagaimana di Banyumas

Di Kabupaten Banyumas sepengamatan saya belum banyak yang concern dengan upaya menuju Desa Mandiri Energi (DEM). Pun termasuk bagi desa yang sebenarnya punya potensi energi baru terbarukan masih belum tersadar (atau mungkin belum butuh) memanfaatkan potensi tersebut.

Dari pengamatan penulis, di Kabupaten Banyumas terdapat desa berkategori Desa Mandiri Energi. Yakni Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok. Desa Kalisari dikenal sebagai sentra atau penghasil tahu di Kabupaten Banyumas. Desa ini dinobatkan oleh Kementerian ESDM sebagai Desa Mandiri Energi karena dianggap berhasil mengolah limbah industri tahu menjadi biogas yang dikelola oleh BUMDes.

Hingga tahun 2016 lalu, sudah 56 persen perajin tahu yang mengalirkan limbah cairnya untuk dimanfaatkan menjadi biogas yang dimanfaatkan oleh 21 persen rumah warga desa atau sebanyak 210 rumah dari total sekitar 1.000 rumah di desa. Dengan pemanfaatan limbah tahu menjadi biogas, perajin tahu dapat menekan biaya pembelian elpiji.

"Desa Kalisari concern dengan pemanfaatan limbah tahu menjadi biogas sebagai energi baru terbarukan," kata Kades Kalisari, Azis Masruri, Kamis (26/10).

Karena keberhasilan pengelolaan limbah tahu menjadi biogas ini, desa yang berada di jalur wisata Curug Cipendok ramai menjadi pusat studi banding pengembangan biogas. Ingin melihat dari dekat pemanfaatan biogas? Silakan datang ke Kalisari, dan jangan lupa cicipi dan borong tahu khas Kalisari. (Hanan Wiyoko)




Rabu, 25 Oktober 2017

Apa Peran Polri dalam Pengawasan Dana Desa?



Penggunaan Dana Desa (DD) menjadi sorotan banyak pihak. Besarnya dana bersumber APBN ini memang rawan dikorupsi, sehingga perlu banyak pihak melakukan pengawasan. Menurut saya, pengawasan penggunaan DD pun saat ini sudah dilakukan berjenjang dari desa hingga tingkat pusat. Dan saat ini akan ditambah masuknya Polri untuk terlibat dalam pengawasan dan pengawalan DD.

Keterlibatan Polri (dalam hal ini ditindaklanjuti oleh Babinkamtibmas di tingkat desa) merupakan hasil penandatangan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Kapolri di Jakarta pada 20 Oktober lalu. Secepatnya MoU tersebut harus ditindaklanjuti. Lalu apa poin pengawalan dan pengawasan Polri dalam MoU itu?

Adapun inti dari nota kesepahaman tersebut meliputi :
1. Pembinaan dan penguatan kapasitas pemda, desa, dan masyarakat dalam pengelolaan Dana Desa
2. Pemantapan dan sosialisasi regulasi terkait pengelolaan Dana Desa
3. Penguatan pengawasan Pengelolaan Dana Desa
4. Fasilitasi bantuan pengamanan dalam pengelolaan Dana Desa
5. Fasilitasi penanganan masalah dan penegakan hukum terhadap pengelolaan Dana Desa
6. Pertukaran data dan atau informasi Dana Desa.

Setelah ditandatangani oleh ketiga pihak, isi dari MoU itu akan ditindaklanjuti secepatnya dan selambatnya 3 bulan dari penandatangan MoU. Adapun waktu perjanjian MoU ini dalam tahap I selama dua tahun, dan selebihnya bisa dievaluasi untuk diperpanjang kembali.

Di Kabupaten Banyumas, isi MoU sudah dipersiapkan langkah-langkah oleh Polres Banyumas untuk menindaklanjuti hal tersebut. Rencananya pada hari Rabu, 25 Oktober 2017 dilakukan penandatangan MoU antara Polres Banyumas dengan Pemkab Banyumas. (*)

Rabu, 18 Oktober 2017

Desa Wajib Terapkan SisKeuDes di 2018



Aplikasi Sistem Keuangan Desa atau SisKeuDes wajib diterapkan oleh pemerintah desa dalam Tahun Anggaran 2018. Saat ini belum semua desa di Kabupaten Banyumas menerapkan aplikasi ini. Masih sedikit desa yang menerapkan.

Mempersiapkan pengoperasian SisKeuDes pada 2018, Bagian Pemdes Setda Banyumas bekerjasama dengan BPKP Prov Jawa Tengah menggelar Pelaksanaan Bimbingan Teknis SisKeuDes bagi Satgas Kabupaten, selama tiga hari, 18-20 Oktober 2017. Kegiatan tersebut diikuti sebanyak 70 orang terdiri dari perwakilan 23 kecamatan (unsur kepala seksi pemerintahan dan pejabat fungsional), pendamping desa serta perwakilan OPD dari Dinsospermasdes, Bapeddalitbang dan lainnya.

"Penerapan aplikasi SisKeuDes wajib dilaksanakan di tahun 2018, sehingga kami mendorong upaya percepatan dengan menggelar pelatihan baagi satgas di tingkat kabupaten. Setelah ini dilanjutkan roadshow dengan pelatihan tingkat desa di eks kawedanan pada akhir Oktober hingga awal November," kata Panitia Kegiatan, Ibu Eni dari Pemdes Setda Banyumas.

Bupati Banyumas Achmad Husein dalam sambutan tertulis berharap penerapan aplikasi SisKeuDes bisa meningkatkan kapasitas sumber daya di desa dalam rangka pengelolaan keuangan desa.

"Diharapkan pemdes lebih mandiri dalam pengelolaan keuangan dan kekayanan milik desa. Ada tanggungjawab yang besar, jadi pemdes harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas, harus bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai UU," kata Asisten Pemerintahan Setda Banyumas, Sriyono.

Dengan menggunakan aplikasi diharapkan bisa mempermudah pengelolaan keuangan desa serta mendorong transparansi di desa. SisKeuDes hadir dalam rangka tertib administrasi. Harapannya aparatur desa lebih mudah dalam proses pengadministarian hingga pelaporan penggunaan keuanga

Sekadar informasi, pengembangan SisKeuDes dilaksanakan oleh BPKP. Penerapan aplikasi ini merupakan mandatory dari Kemendagri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aplikasi keuangan desa ini menggunakan database Microsoft Acces sehingga lebih portable dan mudah diterapkan oleh pengguna aplikasi yang awam sekalipun. Secara teknis transaksi keuangan desa termasuk dalam kelompok skala kecil, sehingga lebih tepat ditangani secara mudah dengan database acces ini.
(*)




Senin, 16 Oktober 2017

BUMDes Srowot, Sukses Kelola Minimarket di Pelosok Desa



CITRA Desa Srowot perlahan ingin diubah. Mendengar nama Srowot terbersit desa yang berada di pelosok dan tertinggal. Kini dengan memanfaatakan Dana Desa, Pemerintah Desa Srowot melakukan percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya peningkatan ekonomi kerakyatan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Desa. Dari data Indeks Desa Membangun (IDM) 2016, jumlah penduduk Srowot sebanyak 4.338 jiwa dengan kebanyakan bekerja sebagai buruh tani, petani, peternak, wiraswasta, dan buruh harian.

Di Desa Srowot, keberadaan BUMDes sudah ada sejak 31 Maret 2016 dengan terbitnya Perdes No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan BUMDes. Adapaun nama BUMDes adalah Usaha Jadi Untung Bersama (UJUB). Pada awalnya, unit usaha yang dikelola adalah Sewa Kendaraan Roda Tiga dan Pengelolaan Air Bersih PAMSIMAS, namun keduanya belum optimal. Seiring berjalan, pada tahun 2017 terjadi penggantian pengurus dan penambahan unit usaha dan penambahan penyertaan modal dari Dana Desa (DD) TA. 2017.

Tahun 2017, Desa Srowot mendapat transfer Dana Desa sebesar Rp 845.317.917. Sebagai komitmen pengembangan BUMDes, Pemdes Srowot dalam APBDes Induk mengalokasikan penyertaan modal desa sebesar Rp 225.000.000. Penyertaan modal ini merupakan yang terbesar tingkat Kecamatan Kalibagor, atau sekitar 23,7 persen dari total anggaran penyertaan modal Rp 949.217.990. 

Ide Bikin Toko Desa

Hal yang baru dan menarik terkait pengembangan BUMDes di Desa Srowot mulai terasa sejak muncul ide pembangunan toserba (tokoserba ada) desa. Kepala Desa Srowot, Handoyo selaku penasihat  BUMDes memiliki ide agar minimarket desa bisa berfungsi sebagai unit perdagangan, tak sekadar melayani kebutuhan harian (ritel) namun juga menjadi sentra kulakan warung-warung di desa. Lebih dari itu, Handoyo juga memberikan space di toko untuk menampung jajanan produk lokal khas Srowot.

Untuk mewujudkan rencana ini, sejak awal 2017, Pemdes bersama tim pendamping desa, pengurus BUMDEs melakukan kordinasi. Juga melibatkan konsultan atau pihak ketiga untuk mendengar rencana penataan dan pengembangan BUMDes. Kesiapan rencana pendirian BUMDEs juga disosialisasikan kepada masyarakat, agar nantinya merasa memiliki keberadaan toko desa dan bisa meramaiakan dengan berbelanja di toko yang menempati gedung serbaguna tersebut.

Awal pendirian, beberapa pihak di luar desa mempertanyakan rencana ini. Khususnya terkait rencana kelaikan usaha. Berangkat dari pertanyaan, apakah BUMDes bisa ramai pembeli? Bisa memperoleh profit? Pertanyaan ini terlontar mengingat pengamatan strategis terkait lalu lintas dan keramaian desa. Seperti disebutkan, desa ini berada di pelosok dan tepi Sungai Serayu serta jalan utama adalah jalan desa yang menguhubungkan dengan dua desa tetangga yakni Suro dan Pajerukan. Selain itu juga dikhawatirkan bisa mematikan toko kelontong milik penduduk desa yang lebih dulu ada.

“Toserba milik BUMDes UJUB buka untuk menyaingi, tapi bermitra dengan masyarakat dalam hal ini bisa menjadi sentra kulakan. Kami juga menampung produk lokal untuk ikut dipasarkan disini,” Kata Handoyo. Awalnya, kades berencana membentuk pelayanan sales keliling untuk memasarkan produk ke toko di desa maupun luar desa.

Terkait keberadaan minimarket tersebut, Camat Kalibagor Siswoyo menekankan pentingnya munculnya rasa memiliki dan mencintai dari masyarakat. Bentuk konkretnya, masyarakat bisa berbelanja di toko tersebut.

“BUMDes ramai maka bisa menyumbang PADes. Ini menjadi sumber pendapatan bagi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bisa juga menyerap tenaga kerja lokal,” kata Siswoyo saat launching minimarket.beberapa bulan lalu.

Sementara itu, menurut pengamatan Pendamping Lokal Desa (PLD) Desa Srowot, Karsono keberadaan BUMDes sejak launching hingga saat ini ramai pembeli. Kebanyakan adalah penduduk lokal yang ingin berbelanja kebutuhan harian.

“Bisa dikatakan ramai pembeli, khususnya saat sore. Semoga bisa terus berkembang. Nantinya pemdes juga berencana membangun gedung BUMDes tambahan dengan dana Bankeu Ketahanan Masyarakat Desa dari Pemprov Jateng 2017,” kata Karsono. Sementara itu, seorang pembeli yang ditemui sedang belanja mengaku senang berbelanja di toserba desa. Menurutnya, harga di tempat tersebut lebih murah.

Saat melakukan kunjungan lapangan, TA P3MD Utama, Nurul Hadi mengaku senang melihat perkembangan BUMDes tersebut. Ia berharap bisa lebih banyak menampung produk lokal serta dikelola dengan cara yang profesional agar bisa menghasilkan profit. Tidak kalah penting untuk membuat kelaikan usaha menghitung break event point (BEP).

Unit BUMDes Lainnya

Selain unit toko desa, BUMDes UJUB memiliki unit usaha lainnya yaitu Unit Usaha Sewa Kendaraan Roda Tiga, Unit Usaha Pertanian, Unit Usaha Jasa Konstruksi, dan dalam pengembangan Unit Usaha Air Bersih yang saat ini masih dikelola BPS PAM Pamsimas.

Dari pengamatan Pendamping Desa P3MD Kecamatan Kalibagor, untuk unit usaha lainnya sifatnya masih rintisan. Yang menarik adalah keberadaan unit usaha Jasa Konstruksi sebagai unit baru yang dibentuk untuk menampung peserta hasil pelatihan mengelas yang didanai dari Dana Desa TA.2017. Saat ini para lulusan pelatihan sudah bisa membuat tempat sampah portabel berbahan tong plastik dan dudukan besi penyangga.

Yang perlu penekanan adalah pada penggunaan dan pelaporan keuangan. Tidak kalah penting adalah mekanisme pertanggungjawaban pengelola BUMDes kepada masyarakat desa melalui musdes  seperti yang diatur dalam Permendes No 4 Tahun 2015 tentang BUMDes agar bisa terlaksana.  Dengan pengelolaan yang profesional, tepat azas, dan transparan, menjadi keinginan bersama agar BUMDes UJUB bisa sukses dalam mewujudkan kemadirian desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Amin. (Hanan Wiyoko & Apriyanti Sulisetiana / Pendamping Desa)


Sabtu, 16 September 2017

Cantiknya Payung Kertas Kalibagor Berbinar Hingga Solo


Perajin payung kertas khas Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas mengikuti Festival Payung Nusantara selama dua hari, Jumat-Sabtu (14-15/9) di Pura Mangkunegara, Surakarta. Payung kertas merupakan produksi turun temurun sejak tahun 1940 yang bertahan hingga saat ini di Kalibagor.

Kordinator Komunitas Payung Kertas, Manto mengatakan, kegiatan ini memiliki arti penting bagi sarana promosi dan eksistensi perajin payung. Festival ini merupakan kegiatan tahunan.

"Kami membawa sekitar 60 payung dan beberapa perajin payung ke acara festival," kata Manto, yang juga menjabat Kasi Pemerintahan Pemdes Kalibagor. Ia menambahkan, payung yang disertakan dari jenis payung kertas hias dan lukis.

"Perajin payung ikut hadir ke festival karena biasanya ada yang order atau pesan. Selain itu juga ada perajin payung yang menerima penghargaan dalam acara ini," tambahnya.



Selain dihadiri perajin payung kertas, acara juga didukung oleh Pemerintah Desa Kalibagor. Dukungan pemdes pada tahun 2017 di antaranya mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas perajin dengan menggelar pelatihan menggunakan Dana Desa tahun anggaran 2017.

"Kami mendukung pengembangan kerajinan payung kertas khas Kalibagor. Ini potensi desa yang bisa dikembangkan." kata Kades Kalibagor, Tjiptadi. Ia berharap, dengan terlibat dalam acara pameran keberadaan perajin payung bisa eksis dan memperluas jaringan untuk pemasaran produksi. Pasalnya, pemasaran payung kertas masih terbatas untuk dekorasi dan seni semata.

Tambahan informasi, di Desa Kalibagor saat ini ada sekitar enam perajin payung kertas. Mereka membuat payung dari bahan kertas dan bambu yang kemudian dihias dengan cara dilukis. Ada juga yang dibuat dengan bahan kain serta pernak-pernik untuk mempercantik tampilan payung. Kegunaan dari payung ini di antaranya menjadi dekorasi atau aksesoris ruangan seperti digunakan di Pendopo Kecamatan Kalibagor maupun untuk kegiatan seni, seperti properti tarian, panggung kegiatan seni, maupun tujuan lain.Harga payung ini cukup terjangku. Anda berminat..?? (Hanan Wiyoko)